MEMBANGUN MANUSIA, BUKAN HANYA TENTANG NILAI

OLEH

SYUKUR MATUR, S.Pd

Pada setiap lembaga pendidikan tentunya akan berpikir bahwa ukuran kesuksesan seorang siswa seringkali direduksi kedalam sederet angka yang muncul pada rapor: nilai akademik, ranking kelas, dan nilai ujian lainnya. Lembaga pendidikan dalam hal ini sekolah pun terjebak dalam sistem yang memprioritaskan "penjejalan materi" ketimbang "penanaman karakter". Akibatnya, lahir generasi yang cerdas secara kognitif namun kerap gamang menghadapi kompleksitas kehidupan. Di sinilah pengembangan diri (self-development) bukan lagi sebagai pelengkap, melainkan menjadi jiwa dari proses pendidikan itu sendiri. Sehingga boleh jadi Pengembangan diri juga sebagai jiwa dari pendidikan dan bukan hanya sebatas angka di dalam raport.

                  

Pengembangan diri adalah proses berkelanjutan untuk mengasah potensi, kemampuan, kesadaran, serta kualitas identitas seseorang. Ini adalah investasi terbesar yang bisa diberikan sekolah kepada murid-muridnya, jauh melampaui rumus matematika atau tahun-tahun sejarah yang suatu saat mungkin terlupakan.

SMP Negeri 4 Nubatukan menjadikan hari Sabtu sebagai hari pengembangan diri. Dimana dalam lima hari, dari Senin sampai dengan Jumat,  siswa dan guru bergelut dengan pembelajaran tatap muka dalam ruangan sehingga untuk merefresh kejenuhan bukan tentang refreshing ditempat wisata ataupun sejenisnya sesuai dengan versi masing-masing orang. Namun masih ada hal yang berdampak untuk warga sekolah adalah PENGEMBANGAN DIRI. Banyak kegiatan pengembangan diri yang telah terjadwalkan oleh sekolah pada hari Sabtu diantaranya diawali dengan Senam Pagi, Dolo-dolo bersama sebagai pelestarian akan budaya lokal, olahraga dan masih banyak lagi kegiatan inti lainnya yang bermanfaat bagi warga sekolah.

Lantas, mengapa pengembangan diri sangat krusial untuk lingkungan sekolah?

Pertama, dengan adanya pengembangan diri yang dilakukan secara terprogram dapat  menjembatani kesenjangan antara teori di kelas dan realitas di masyarakat. Hal ini dimaksudkan karena hidup di dunia yang nyata, kita tidak hanya membutuhkan orang yang pandai menghitung, tetapi juga yang mampu berkomunikasi, bekerja sama dalam tim, dan memecahkan masalah yang tidak terstruktur. Melalui kegiatan ekstrakurikuler, proyek kolaborasi, organisasi siswa (OSIS), atau pembelajaran berbasis proyek dan ain sebagainya.

Kedua, pengembangan diri membentuk ketahanan mental dan pola pikir. Ketika sistem yang hanya mengejar nilai sempurna seringkali memicu ketakutan akan kegagalan. Sebaliknya, lingkungan yang mendukung pengembangan diri mengajarkan bahwa kegagalan adalah bagian dari proses belajar. Seorang siswa yang gagal dalam futsal, atau kalah dalam lomba debat, belajar untuk introspeksi, berlatih lebih keras, dan mencoba lagi. Mereka mengembangkan mental tangguh yang membuatnya tidak mudah patah saat menghadapi tantangan hidup yang lebih besar di masa depan.

Terakhir, pengembangan diri memupuk kecerdasan emosional dan empati. Pendidikan yang seimbang tidak hanya tentang mencetak individu yang cerdas, tetapi juga manusia yang berperasaan. Kegiatan yang melibatkan interaksi sosial, bakti sosial, atau diskusi tentang isu-isu kemanusiaan mengasah kemampuan siswa untuk memahami perasaan orang lain, mengelola emosinya, dan membangun hubungan yang sehat. Dalam masyarakat yang semakin individualistik, kemampuan inilah yang akan menjadi perekat sosial.

Pada akhirnya, gelar dan ijazah mungkin akan membuka pintu pertama untuk seorang siswa, tetapi karakter, kemampuan beradaptasi, dan ketangguhan mentallah yang akan menentukan sejauh apa ia akan melangkah. Marilah kita membangun sekolah yang tidak hanya mencetak siswa yang pandai, tetapi juga manusia yang utuh, berkarakter, dan siap menghadapi dunianya. Karena tugas pendidikan yang paling mulia adalah membangun manusia, bukan hanya nilai.


0 Komentar